METODE PENELITIAN SEKUNDER (ANALISIS DATA SEKUNDER)

Tatang M. Amirin

12 April 2015

PENGERTIAN METODE PENELITIAN (ANALISIS DATA) SEKUNDER

Metode Analisis Data Sekunder (kadang disebut singkat dengan Metode Penelitian Sekunder) merupakan salah satu metode penelitian. Oleh karena namanya yang berbunyi “analisis data sekunder” sering kali disalahpahami sebagai teknik menganalisis data sekunder. Analisis Data Sekunder itu metode penelitian juga. Artinya ada prosedur pengumpulan data dan analisis data. Namun demikian tidak semua definisi tentang Analisis Data Sekunder menunjukkannya sebagai duatu metodem penelitian. Hakim (1982:1; dinukil Johnston, 2014:620), misalnya, merumuskan Analisis Data Sekunder itu sebagai ““any further analysis of an existing dataset which presents interpretations, conclusions or knowledge additional to, or different from, those presented in the first report on the inquiry as a whole and its main results” (analisis lebih lanjut himpunan data yang sudah ada yang memunculkan tafsiran, simpulan atau pengetahuan sebagai tambahan terhadap, atau yang berbeda dari, apa yang telah disajikan dalam keseluruhan dan temuan utama penelitian terdahulu atau semula).

Heaton (2004:16; dinukil Andrews, et.al., 2012:12) merumuskan analisis data sekunder (ASD) itu sebagai “a research strategy which makes use of pre-existing quantitative data or pre-existing qualitative data for the purposes of investigating new questions or verifying previous studies.”  Jadi, analisis data sekunder, menurut Heaton, merupakan suatu strategi penelitian yang memanfaatkan data kuantiatif ataupun kualitatif yang sudah ada untuk menemukan permasalahan baru atau menguji hasil penelitian terdahulu. Sebutan strategi penelitian itu setara dengan sebutan metode penelitian. Johnston (2014:620) menegaskannya dengen menyatakan bahwa “Secondary data analysis remains an under-used research technique in many fields . . . . Given the increasingly availability of previously collected data to researchers, it is important to further define secondary data analysis as a systematic research method.” (Analisis data sekunder itu masih tetap sebagai teknik penelitian yang  jarang digunakandiberbagai bidang . . . . Dengan semakin banyaknya data hasil penelitian yang tersedia untuk dimanfaatkan para peneliti, maka sangat penting untuk kemudian menegaskan analisis data sekunder itu sebagai metode penelitian yang sistematik)

Analisis data sekunder itu dengan demikian dapat dirumuskan sebagai berikut.

Pertama, ASD bukan merupakan metode analisis data, melainkan metode (strategi) penelitian. Oleh karenanya, menurut Andrews dkk (2012), metode analisis data semisal teori grounded (analisis data kualtiatif) dan analisis stastisik (analisis data kuantitatif) dapat dipergunakan oleh metode penelitian analisis data sekunder.

Kedua, ASD mempergunakan atau memanfaatkan data sekunder, yaitu data yang sudah ada. Dalam hal ini peneliti ASD  tidak mengumpukan data sendiri, baik dengan wawancara, penyebaran angket atau daftar isian, melakukan tes, menggunakan skala penilaian atau skala semacam skala likert, ataupun observasi. Data sekunder itu dapat berupa data hasil penelitian, dapt pula berupa data dokumenter administratif kelembagaan.

Ketiga, tujuan ASD, menurut Heaton, bisa berupa menggali dan menemukan permasalahan (pertanyaan) penelitian baru, bisa pula menguji kebenaran hasil penelitian terdahulu.

Tujuan penelitian ASD sebenarnya bisa beragam. Andrews dkk, misalnya, mencatat rumusan tujuan penelitian ASD itu antara lain untuk: (1) menerapkan permasalahan penelitian baru–tegasnya meneliti dengan tujuan penelitian yang baru yang berbeda dari penelitian terdahulu (Heaton, 2004), (2) memanfaatkan data lama untuk memunculkan idea-idea baru (Fielding, 2004), (3) “menguji” hasil penelitian yang sudah dilakukan, baik berujud “verifikasi” (menguji ketidakbenaran dengan bukti yang benar),”refutasi” (menguji kebenaran dengan bukti ketidakbenaran) ataupun “refinemen” (perbaikan), (4) “mengksplor” data dari sudut pandang yang berbeda (Hinds,Vogel & Clarke-Steffen, 1997)–“mengksplor” data dimaksudkan “mengobok-obok” data (dalam arti netral) atau menjelajahi, menyelami, mengayak-menyaring data.

Tujuan-tujuan penelitian ASD di atas lebih banyak terkait dengan data sekunder hasil penelitian. Seperti telah disebutkan, selain data hasil penelitian masih ada data sekunder lain yang dapat disebut sebagai data administratif yang hasilnya lebih banyak berupa laporan administratif. Data administratif tidak selamanya hanya berupa laporan administratif, melainkan bisa pula mengandung “nilai penelitian” walau lebih bersifat administratif, utamanya “penelitian evaluatif administratif.”

Dari pembahasan di atas, maka jika ASD mempergunakan atau memanfaatkan data hasil penelitian terdahulu, maka tujuan ASD berbeda (harus berbeda) dari tujuan penelitian terdahulu. Tegasnya, dengan tujuan lain, peneliti ASD menggunakan data hasil penelitian terdahulu (baik hasil penelitian sendiri ataupun penelitian orang lain) untuk dianalisis guna menjawab fokus penelitian atau permasalahan (pertanyaan) penelitiannya. Ini perlu ditegaskan, karena pada umumnya penelitian ASD yang mempergunakan atau menafaatkan data administratif kelembagaan sudah dapat dipastikan tujuannya berbeda dari maksud atau tujuan data adminitratif dikumpulkan.  Data administratif dikumpulkan lazimnya untuk keperluan administratif, bukan untuk keperluan penelitian.

PENGERTIAN DAN JENIS DATA SEKUNDER

Seperti telah diutarakan di muka, data sekunder itu dimaksudkan data yang sudah ada, tidak dikumpulkan (digali) sendiri oleh peneliti. Jika peneliti melakukan wawancara, atau menyebarkan angket, atau melakukan observasi, atau mengetes, maka data yang dihasilkan (terkumpul) itu disebut data primer, data tangan pertama (tangan peneliti). Data sekunder tidak dikumpulkan sendiri oleh peneliti. Data itu sudah dikumpulkan oleh orang lain, atau sudah didokumentasikan dan atau dipublikasikan oleh orang lain.

Data sekunder itu dapat dibedakan menjadi dua macam. Pertama data hasil penelitian (orang lain), dan kedua, data administratif kelembagaan. Data penelitian merupakan data yang dihasilkan oleh sesuatu penelitian, bisa penelitian orang lain, bisa penelitian sendiri. Data administratif kelembagaan dimaksudkan data yang dikumpulkan oleh sesuatu lembaga, misalnya sekolah atau Dinas Pendidikan, yang berupa data-data administratif semisal daftar calon murid yang mendaftar dan diterima sekolah, data lengkap murid baru, data kelulusan, data nilai hasil ujian, data kepegawaian dan sebagainya.

Data sekunder, seperti juga data primer, bisa bersifat “kuantitatif” (berupa bilangan), misalnya statistik murid, guru dan pegawai, bisa pula “kualitatif” (bukan berupa bilangan), misalnya peraturan, hasil wawancara penelitian, rekaman video, berita surat kabar, artikel majalah, dan sebagainya.

 

PROSEDUR PENELITIAN (ANALISIS DATA) SEKUNDER

Seperti telah disebutkan, data sekunder itu data yang sudah ada (dengan istilah umum disebut berupa “dokumen”). Dengan kata lain peneliti tidak mengumpulkan data itu seperti dalam penelitian primer menggunakan teknik pengumpulan data tertentu (angket, wawancara, observasi, tes dsb). Oleh karena itu maka langkah penelitian analisis data sekunder itu relatif “pendek.” M. Katherine McCaston (2005) menyatakan bawha analisis data sekunder itu mencakup dua proses pokok, yaitu mengumpulkan data dan menganalisisnya. Dalam kaoimat aslinya disebut “collecting and analyzing a vast array of information” (mengumpulkan dan mengalisis sekian banyak informasi). Namun demikian, menurut McCaston, agar tidak menyimpang, yang perlu dilakukan oleh peneliti sebagai langkah awal adalah merumuskan tujuan penelitian dan disain penelitian.

Rumusan tujuan penelitian dimaksudkan McCaston sebagai “a clear understanding of why you are collecting the data and of what kind of data you want to collect, analyze, and better understand” (penegasan mengenai mengapa perlu mengumpulkan data serta penegasan mengenai data macam apa yang ingin dihimpun, dianalisis dan dipahami dengan baik).

Disain (rancangan) penelitian dimaksudkan McCaston sebagai “a step-by-step plan that guides data collection and analysis. In the case of secondary data reviews it might simply be an outline of what you want the final report to look like, a list of the types of data that you need to collect, and a preliminary list of data sources” (langkah demi langkah rencana yang mengarahkan pengumpulan dan analisis data; dalam penelitian analisis data sekunder sederhananya merupakan kerangka kerja garis besar mengenai  hasil akhir seperti apa yang di=ingin dilaporkan, daftar data yang dirasa perlu dikumpulkan, dan daftar sementara sumber data).

Wallace Foundation (Workbook B; Secondary Data Analysis–www.wallacefoundation.org, diunduh Januari 2015) merumuskan langkah-l;angkah penelitian analisis data sekunde itu sebagai berikut.

ANALISIS DATA SEKUNDER--TAHAP-TAHAP

Jadi, dalam penelitian sekunder (analisis data sekunder) langkah penelitiannya sebagai berikut:

1. Menetapkan (mencari-temukan) sumber data/informasi (sekolah, universitas, Dinas Pendidikan, dsb);

2. Mengumpulkan data yang sudah tersedia (dalam “dokumen”);

3. Menormalisasikan data jika diperlukan dan memungkinkan (membuat data dari berbagai sumber sesetara mungkin “menjadi satu bentuk yang sama”);

4. Menganalisis data (misalnya menghitung, mentabulasi, memetakan data-data kuantiatif, atau membandingkan berbagai peraturan dan menelaahnya).

PENDEKATAN PENELITIAN (ANALISIS DATA) SEKUNDER

Melakukan penelitian analisis data sekunder dapat dilakukan dengan dua pendekatan (Sarah Boslaugh, 2007:6-8). Pertama, dimulai dengan pertanyaan penelitian (rumusan masalah) kemudian dilanjutkan dengan mengumpulkan data sekunder yang relevan. Misalnya, dari kalangan latar belakang ekonomi apakah peserta didik yang diterima di sekolah-sekolah favorit di Kota Yogyakarta. Data kemudian dihimpun dicari dari sekolah-sekolah favorit atau dari Dinas Pendidikan untuk selanjutnya dianalisis menggunakan analisis matematik (tidak harus disebut analisis statistik karena pada dasarnya hanya menghitung-menjumlah). Jika ada hasil penelitian yang mengkorelasikan nilai ujian nasional (NUN) saat masuk SMA (NUN SMP) dengan nilai ujian nasional (NUN) SMA-nya, hasil penelitian tersebut dapat “dipertanyakan” lebih lanjut, misalnya “lebih banyak yang prestasi UN SMA-nya naik atau turun berbanding NUN SMP-nya” dan “apakah ada perbedaan keberhasilan belajar murid sekolah favorit dan tidak favorit.” Data NUN yang dikumpulkan peneliti tersebut itu kemudian dianalisis untuk menjawab “pertanyaan penelitian” tadi.

Pendekatan yang kedua, dimulai dengan mengumpulkan data sekunder, lalu menelaahnya untuk mencermati variabel-variabel (aspek-aspek) apa saja yang ada dalam data tersebut untuk kemudian dimunculkan pertanyaan penelitian (rumusan masalahnya) dengan menghubung-hubungkan berbagai aspek (variabel) tersebut. Lebih “ekstrimnya” lagi, peneliti cukup memunculkan pertanyaan (masalah) yang relatif umum, misalnya seperti apa gambaran (potret) murid baru yang diterima di sekolah-sekolah favorit di Kota Yogyakarta. Selanjutnya peneliti mengumpulkan data sekunder (dokumenter) sebanyak-banyaknya dan menganalisis berbagai variabel (aspek) yang ada dalam data tersebut. Jika kemudian muncul “pertanyaan” (kepenasaranan, keingintahuan) lebih lanjut, data yang diperlukan dicari lagi. Dengan pendekatan kedua ini pada dasarnya pertanyaan penelitian pun bisa bersifat sementara (tentantif) dan terus-menerus bisa dikembangkan lebih lanjut yang diikuti dengan mencari data sekunder yang diperlukan. Pendekatan ini “relatif sama” dengan pendekatan penelitian kualitatif grounded, atau penelitian eksploratif, yang “mencari masalah” di lapangan, bukan dimulai dengan pertanyaan penelitian sebelum terjun ke lapangan.

SUMBER DATA SEKUNDER

McCaston (2005; menukil Shell, 1997) menyebutkan sumber data sekunder itu antara lain sebagai tertera dalam skema berikut.

Secondary Data Sources
Government Documents
Official Statistics
Technical Reports
Scholarly Journals
Trade Journals
Review Articles
Reference Books
Research Institutions
Universities
Libraries, Library Search Engines
Computerized Databases
The World Wide Web

PENGUMPULAN DATA

Seperti telah disebutkan, penelitian Analisis Data Sekunder itu bisa dimulai dari pertanyaan penelitian, bisa dimulai dari menelaah data serempak dengan terus-menerus membuat pertanyaan penelitian. Wallace Foundation memberikan tips dalam mengumpulkan data itu agar tidak terjebak dengan fenomena yang menarik tapi tidak relevan agar setiap “jeda” mengumpulkan data mempertanyakan hal-hal berikut.

1. What are my research goals? What questions am I hoping to answer? (Apa sih tujuan penelitian saya? Permasalahan penelitian apa yang ingin saya temukan jawabannya dari lapangan?)
2. Which research questions have I answered with the data I have collected? (Permasalahan penelitian yang mana yang sudah terjawab dengan data yang sudah saya himpun sampai saat ini?)
3. Which research questions are still outstanding? (Permasalahan penelitian yang mana yang masih belum terjawab?)
4. What new questions have been raised by the data I have found? (Permasalahan penelitian apa lagi yang muncul dari data yang sudah saya himpun sampai saat ini?)
5. How will I be using this information once it is collected? Should I look for data in another form or format for my purposes? (Data yang sudah saya himpun ini mau saya apakan?)
6. How accurate is the information I have collected? Can I find an answer to this question from a more credible source? (Seberapa akurat data yang sudah saya hjimpun ini? Dapatkah saya menemukan jawaban terhadap permasalahan penelitian saya dari sumber data yang lebih bisa dipercaya?)
7. How up-to-date is the information I have collected? Can I find more current information from another source? (Seberapa “up-to-date” data yang sudah saya himpun ini? Dapatkah saya peroleh data yang lebih mutaakhir dari sumber data lain?)

 

Sumber:

Andrews, Lorraine, et.al. (2012). Classic Grounded Theory to Analyze Secondary Data: Reality and Reflections. The Grounded Theory Review. Volume 11, Issue 1.

Boslaugh, Sarah. (2007). Secondary Data  Sources for Health: A Practical Guide. Cambridge:  Cambridge University Press. [Excerpt published online: “I An Introduction to Secondary Data Analysis”]

Johnston, Melissa P. (2014). Secondary Data Analysis: A Method that which a Time Has Come. Quantitative and Qualitative Methods in Library (QQML) 3.

McCaston, M. Katherine. (2005). Tips for Collecting, Reviewing, and Analyzing Secondary Data. www.pqdl.care.org. Diunduh September 2014.

Wallace Foundation. Workbook B: Conductiong Secondary Research. [Other information restricted]. Retrieved June, 2014 online from http://www.wallacefoundation.org/

EVALUASI PROGRAM MENGGUNAKAN MODEL “DISCREPANCY” PROVUS

Tatang M. Amirin. Edisi 15 Januari 2013

Dalam dunia pendidikan evaluasi itu setidaknya ada dua macam. Pertama evaluasi pendidikan yang biasanya lebih mengkhusus pada evaluasi hasil belajar murid/mahasiswa. Kedua, evaluasi program, program lembaga pendidikan (kadang orang menuliskan evaluasi program pendidikan–tentu bisa berbeda konotasinya). Kedua macam evaluasi itu berbeda jauh. Evaluasi pendidikan itu mengevaluasi (assess) program pendidikan (program belajar-mengajar). Tegasnya mengevaluasi apakah program (proses) pendidikan telah berjalan dengan baik. Yang dijadikan tolok ukur (standar) utamanya lazimnya “kepahaman” murid atau mahasiswa terhadap materi pelajaran yang telah dipelajari. Tentu bisa juga yang dievaluasi itu proses pendidikannya (pelaksanaan PBM/KBM–sudah berjalan baik atau tidak). Evaluasi program (lembaga pendidikan) berbeda objek atau sasarannya; yang dievaluasi adalah program (rencana kerja) lembaga pendidikan.

Masih ada lagi evaluasi yang bukan evaluasi pendidikan dan program lembaga pendidikan, yaitu evaluasi lembaga pendidikan itu sendiri, lazimnya bersifat administratif. Akreditasi sekolah dan perguruan tinggi yang dievaluasi itu kelembagaannya (organisasi atau tatapamongnya, perencanaan program, personilnya, sarana prasarananya, administrasi pelaksanaan kegiatan akademik, dan sebagainya). Evaluasinya menggunakan standar tertentu. Jadi, yang menajdi tujuan evaluasi adalah sudahkah lembaga itu memenuhi standar yang ditentukan. Continue reading

MELACAK FILSAFAT MANUSIA DAN PENDIDIKAN INDONESIA BERBASIS RUMUSAN PANCASILA LEGAL-FORMAL (RENUNGAN AWAL)

— Makalah Penyerta Seminar Ilmu Pendidikan Prodi S3 Ilmu Pendidikan Program Pasca Sarjana UNY, 18 Oktober 2011 —

Tatang M. Amirin

 Mahasiswa Prodi S3 Ilmu Pendidikan Program Pascasarjana UNY

Pendahuluan

Sangat sulit melacak sebenarnya sistem dan proses pendidikan di Indonesia itu berlandaskan filsafat pendidikan, ilmu pendidikan, “ilmu mengajar,” dan juga psikologi pendidikan  yang mana. Di suatu ketika dicoba dihilangkan tradisi “guru mengajar murid belajar” dengan menggunakan label proses belajar-mengajar (PBM), belajar disebut duluan (dari aslinya teaching-learning process). Konotasinya karena ada yang belajar, baru kemudian guru mengajar. Maksud filosofis operasionalnya guru hendaknya mengikuti gaya dan minat belajar murid. Istilah kerennya student centered. Akan tetapi sebutan itu hanya sekedar sebutan, guru di lapangan tidak tahu makna di balik label, dan lebih tidak tahu lagi bagaimana menerapkannya di lapangan.

Sejalan dengan itu, muncul ide baru dengan label student active learning yang salah (kurang pas) diindonesiakan menjadi cara belajar siswa aktif (CBSA) sehingga dipahami sebagai metode mengajar (karena ada istilah “cara”), bukan sebagai model atau pendekatan mengajar. Pendekatan ini pun tidak dipahami maknanya, dan tidak lebih dipahami lagi pelaksanaannya. Akibatnya yang terjadi adalah menjadi diplesetkan “cah bodo soyo akeh (anak yang bodoh bertambah banyak), karena tidak meningkatkan prestasi belajar apapun. Continue reading

MEROMBAK PARADIGMA PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS PANCASILA DENGAN PENDEKATAN “HIKMAH, MAUIZHAH HASANAH DAN MUJADALAH HASANAH”

(Makalah Temu Ilmiah Jurusan Ilmu Pendidikan – Fakultas Ilmu Pendidikan (JIP – FIP), UPI Bandung 25-26 Oktober 2011)

 TATANG M. AMIRIN

Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta

 “Serulah mereka ke jalan Tuhanmu dengan ajaran yang benar (hikmah), dengan menggunakan cara-cara yang bajik dan bijak, dan dialog yang bajik dan bijak pula.”(Q.S. 16/An-Nahl:125)

We must remember that intelligence is not enough. Intelligence plus character—that is the goal of true education.—Martin Luther King Jr.,Speech at Morehouse College, 1948

Abstract

Character is the aggregate of features and traits that form the individual nature of some person or thing. Character education for the Indonesian people (citizen) means to educate him/her to have in his/her-self the characteristics representing the values, beliefs, norms, morals, customs, and conducts of the Indonesian people as a whole, based on Pancasila as the Indonesian national philosophy. To do this, first of all, it is demanded to have a true and sound historical-philosophical idea about Pancasila to transfer to the people. Secondly, the means through which the characters will be educated, should be normatively sound, viewed from scientific and moral point of views. Pancasila should not be treated as an irrational doctrine that no reasoning may take place, and should not be transferred through indoctrination ways which had been done during and since the Orde Baru period. The Dewantara’s principle of “ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani” may be taken to be the best approach in Indonesian character education.

Keywords: Character education, Indonesian pancasilais person, ing ngarsa sung tulada, truly knowledge (wisdom) and sound means of educating

Pendahuluan

Pendidikan karakter bagi anak bangsa Indonesia yang diharapkan berbasis Pancasila itu hendaklah pertama-tama materi didikannya sendiri merupakan ajaran (materi, substansi) yang benar mengenai historisitas-filosofi Pancasila. Pancasila tidak boleh lagi dijadikan sebagai doktrin yang harus diterima tanpa reserve, mengekor “tercocok hidung” tafsiran dan pemahaman pemegang kekuasaan Negara, kendati salah dan tidak masuk akal sekalipun. Continue reading

ILMU PENDIDIKAN 6: FAKTOR-FAKTOR PENDIDIKAN VERSUS KOMPONEN SISTEM PENDIDIKAN

Tatang M. Amirin; 4 Mei 2011

Komponen: faktor dan unsur  sistem

Dalam teori sistem sistem itu dikenal sebagai suatu kesatuan kebulatan keseluruhan yang terdiri atas berbagai komponen yang satu sama lain saling berhubungan secara fungsional (Tatang M. Amirin, Pokok-pokok Teori Sistem).

Komponen suatu sistem itu dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu faktor dan unsur. Faktor adalah komponen sistem yang menentukan keberadaaan (eksistensi) sistem tersebut. Manusia, misal, secara sederhana, dikatakan sebagai manusia jika ada faktor jiwa dan raga. “Manusia” yang tinggal raganya saja, tanpa jiwa (roh) tidak lagi disebut manusia, melainkan mayat. Roh manusia, tanpa jasad, bukan lagi manusia, melainkan (jika sudah mati) hantu (bagi yang percaya akan adanya hantu).

Unsur merupakan komponen sistem yang keberadaannya tidak menentukan keberadaan sistem itu. Pakaian manusia bukan faktor manusia, sebab tanpa pakaian pun manusia tetap manusia. Akan tetapi unsur pakaian itu penting bagi manusia, baik untuk keindahan dan penutup aurat, maupun untuk melindungi dari cuaca. Tangan, bagian dari jasad, juga hanya unsur jasad, bukan faktor jasad. Manusia yang tanpa tangan (tanpa daksa, tuna daksa, alias tidak lengkap anggota tubuhnya) masih tetap disebut manusia. Continue reading

ILMU PENDIDIKAN 5: PENDIDIKAN DAN FILOSOFI ANDONG

Tatang M. Amirin; 20 April 2011; 26 April 2011; 1 Mei 2011

Lembaga pendidikan berhakekat andong

Andong itu dokar (delman,  kahar, dokar) khas Jogja. Ada andong (kereta kuda) dan kudanya, ada sais sang “sopir”, dan tentu akan ada penumpangnya. Andong itu ada andong bebas jalur, ke mana saja bisa, dan ada pula andong berjalur (trayek), misalnya dari Pasar Beringharjo Jogjakarta ke Kota Gede pergi pulang (p.p.). Andong bebas trayek bergerak ke mana-mana sesuai dengan permintaan penumpang, sementara andong trayek ya bergerak sesuai dengan trayeknya.

Andong itu dapatlah dijadikan simbul analogi pendidikan, alias pendidikan dapat difilosofiskan dari andong.  Andong itu ibarat “lembaga pendidikan,” terutama unsur khasnya yang berupa kurikulum (baca: segala macam materi dan kegiatan pendidikan, yaitu apa yang diajarkan guru dan yang dipelajari murid). Kusir andong itu ibarat guru atau pendidik (dan tentu staf lembaga pendidikan lainnya). Penumpang andong itu sama dengan murid (pelajar, pedidik). Continue reading

ILMU PENDIDIKAN 4: MENGAJAR YANG MENDIDIK ITU SEPERTI APA?

Tatang M. Amirin; 18 April 2011

Undang-undang tentang profesi guru dan dosen di dalamnya antara lain menyebutkan bahwa salah satu kompetensi (kemampuan-keahlian) guru dan dosen itu adalah kompetensi pedagogik yang isinya antara lain berupa kemampuan mengajar yang mendidik. Lepas dari apa yang tertera dalam penjelasan undang-undang itu, pada page ini akan dicoba mencari berbagai makna tentang mengajar yang mendidik itu.

Pertama-tama harus dikemukakan dulu bahwa pada umumnya orang berpendapat bahwa mengajar dan mendidik itu dua hal yang berbeda. Itulah sebabnya ada “keharusan” guru (pendidik) itu selain mengajar harus pula mendidik. Artinya dalam mengajar itu hendaknya guru pun mendidik. Jadilah sebagai kegiatan mengajar (pengajaran) yang mendidik.

Dewasa ini dosen dan guru lazim dianggap hanya sekedar melakukan kegiatan mengajar, belum mendidik. Dengan kata lain, sebagai pendidik dosen dan guru belum seluruhnya mampu menjalankan tugasnya sebagai PENDIDIK.

Catatan: Dalam undang-undang tersebut guru disebut pendidik, dan personil tertentu lainnya yang berkecimpung dalam dunia pendidikan (a.l. laboran, pustakawan, pengembang media, administrator) disebut tenaga kependidikan, yaitu orang-orang yang berperan serta dalam penyelenggaraan pendidikan, tidak langsung terjun melakukan kegiatan pelaksanaan pendidikan (KBM atau PBM; dalam istilah saya KDM, kegiatan  didik-mendidik,  atau PDM, proses didik-mendidik).

Lalu, apa perbedaan mengajar dan mendidik? Continue reading

ILMU PENDIDIKAN 3: ILMU PENDIDIKAN VERSUS ILMU MENDIDIK

Tatang M. Amirin; 11 April 2011; 17 April 2011

Jika orang membicarakan pendidikan, maka pendidikan itu selalu dikonotasikan (hanya) dengan proses mendidik (kegiatan didik-mendidik), sebagai hubungan interaksi pendidik dengan pedidik (orang yang dididik). Oleh karena itu pendidikan lazim didefinisikan (misalnya) sebagai “usaha mengarahkan proses perkembangan pedidik (anak didik, subjek didik, peserta didik) ke arah yang lebih baik.

Sekian puluh tahun yang lalu ada sebuah buku yang diberi judul Ilmu Mendidik, bukan Ilmu Pendidikan. Buku ini membahas mengenai berbagai cara (strategi, metode, teknik) mendidik. Dengan kata lain, buku ini membicarakan tentang proses didik-mendidik.

Apakah didik-mendidik itu berbeda dari pendidikan? Jawabannya tergantung sudut pandang kita mengenai pendidikan. Mari kita lihat dari berbagai fakta penggunaan kata (istilah) pendidikan.

Ada alokasi anggaran 20% dari RAPBN untuk pendidikan. Yakin, pendidikan di situ bukan dalam arti proses didik-mendidik, karena gaji guru dan lain-lain  masuk di dalamnya. Ada juga sebutan pendidikan dasar, menengah, dan tinggi. Yakin pula pendidikan di situ bukan dalam arti proses didik-mendidik, melainkan “organisasi pendidikan” (jenjang pendidikan). Ada pula sebutan pendidikan nasional. Yakin ini juga bukan proses didik-mendidik. Walau bisa ada proses didik-mendidik secara nasional (lewat media masa), tetapi pendidikan nasional bukan dalam konotasi proses didik-mendidik. Itu berkenaan dengan sistem pendidikan yang mencakup berbagai aspek yang bukan hanya didik-mendidik. Begitu pula dengan pendidikan profesi guru (PPG), itu bukan hanya proses didik-mendidik, melainkan suatu “sistem pendidikan” yang diselenggarakan untuk memberikan kompetensi sebagai pendidik profesional.

Jadi, pendidikan itu ada dua mcam maknanya. Pertama, dalam arti sempit, yaitu proses didik-mendidik. Kedua, dalam arti luas, yaitu sebagai suatu sistem “kependidikan,” singkatnya sistem pendidikan. Continue reading

ILMU PENDIDIKAN 2: BELAJAR VERSUS MEMPELAJARI VERSUS PEMBELAJARAN

Tatang M. Amirin; 11 April 2011

Tanpa disadari, sehari-hari kita lazim menggunakan dua istilah yang relatif sama: belajar dan mempelajari. Kedua istilah ini lewat begitu saja dari amatan perhatian kita. Tidak pernah ada yang mencoba menganalisis mengkajinya lebih cermat. Samakah makna di balik kata belajar dan mempelajari? Cobalah perhatikan kalimat-kalimat berikut.

Tatik belajar bahasa Inggris.  Tatik sekarang sedang belajar bahasa Inggris. Ia sedang mempelajari pelajaran bahasa Inggris.

Coba pelajarilah bagaimana cara mengajar yang membuat murid-murid senang dan bahagia belajar.

Titik, adik Tatik, baru sedang belajar berjalan.Titik juga baru sedang belajar bicara.

Totok, sepupu Tatik, sedang belajar memperbaiki henpon yang rusak. Ia belajar sendiri dipandu buku petunjuk merakit dan memperbaiki henpon. Continue reading